EPICTOTO — Mohammad Nuh selaku Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa agenda silaturahim yang melibatkan sejumlah Mustasyar PBNU tidak mengubah atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan melalui forum syuriah. Menurutnya, proses pengambilan keputusan organisasi harus tetap mengikuti mekanisme resmi, yaitu rapat pleno yang rencananya digelar pada 9-10 Desember 2025.
“Kehadiran kami di Tebuireng merupakan bentuk penghormatan terhadap niat baik shohibul hajat. Tugas Mustasyar memang memberikan arahan dan pertimbangan, sesuai AD/ART NU, baik diminta maupun tidak. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan rapat pleno,” jelas Nuh dalam keterangan pers yang dirilis Minggu (7/12/2025).
Pertemuan yang digelar di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng, Jombang, pada Sabtu (6/12/2025) tersebut dihadiri oleh tujuh dari tiga puluh anggota Mustasyar. Tiga di antaranya hadir secara daring, yaitu KH. Ma’ruf Amin, KH. Abdullah Ubab Maimoen, dan Nyai Shinta Nuriyah Wahid. Sementara yang hadir secara fisik adalah KH. Anwar Manshur, KH. Nurul Huda Jazuli, KH. Said Aqil Siradj, dan Nyai Mahfudhoh Aly Ubaid.
Nuh menekankan bahwa saran dan masukan dari Mustasyar tetap dihargai, namun tidak dapat menggantikan proses formal pengambilan keputusan organisasi. “Rapat pleno akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal,” tegasnya.
Terkait keputusan Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 yang menyangkut pelanggaran berat oleh mantan ketua umum, Nuh menyatakan bahwa pelanggaran tersebut didukung oleh bukti yang kuat dan nyata. Keputusan itu, menurutnya, telah ditegaskan kembali oleh Rais Aam PBNU beberapa waktu lalu.
Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua Bidang Pendidikan, Hukum, dan Media PBNU, Muh. Mukri. Ia menegaskan bahwa rapat pleno yang akan datang sepenuhnya legal dan mematuhi seluruh ketentuan organisasi. “Segala aspek administratif, termasuk undangan rapat, telah sesuai dengan aturan internal NU,” ujar Mukri.
Mukri juga menjawab soal polemik tanda tangan undangan rapat yang hanya melibatkan Rais Aam dan Katib, tanpa keterlibatan Tanfidziyah. Menurutnya, rapat pleno merupakan forum yang berada di bawah wewenang Syuriyah, dan Rais Aam berperan sebagai pimpinan rapat, sebagaimana diatur dalam peraturan organisasi.
Ia juga menanggapi pendapat yang meminta Rais Aam melibatkan ketua umum dalam rapat pleno. Mukri menjelaskan bahwa aturan tersebut berlaku dalam kondisi normal, sementara status ketua umum telah berubah sejak 26 November 2025. “Kepemimpinan PBNU sepenuhnya kini berada di tangan Rais Aam,” pungkasnya.
Dengan penegasan ini, PBNU ingin menyampaikan bahwa proses organisasi akan terus berjalan sesuai mekanisme yang berlaku, dengan tetap menghormati peran dan masukan dari seluruh komponen di dalamnya.